Rabu, 28 Mei 2008

Makna Hari Kebangkitan Nasional

MEMAKNAI KEBANGKITAN NASIONAL
Kebangkitan Nasional yang diperingati oleh bangsa Indonesia setiap tanggal 20 Mei merupakan peringatan pada suatu peristiwa yang menandai kelahiran rasa kebangsaan Indonesia yang mampu mengantarkan kepada Indonesia Merdeka. 20 Mei 1908 adalah hari, dimana saat itu organisasi Boedi Oetomo (BO) didirikan oleh Mahasiswa Pribumi di pulau Jawa. Memang ketika 20 Mei 1908 BO didirikan, rasa kebangsaan itu belum mewujud dalam bentuknya seperti dewasa ini. Sebagian ahli sejarah menyebut BO pada kali pertama didirikannya memiliki identitas kebangsaan Jawa. Artinya BO hanya didirikan untuk suku Jawa dan budaya Jawa. Sehingga ada diantaranya yang tidak setuju apabila 20 Mei 1908 diperingati sebagai hari kebangkitan nasional.
Lepas dari perdebatan tersebut, kita bisa menyebutkan bahwa peristiwa 20 Mei 1908 sudah menjadi sebuah sejarah warisan yang berharga, tidak sekedar sejarah empirik semata. Sejarah Warisan adalah sebuah peristiwa yang ditulis, disebarkan untuk selalu diingat dan dijadikan sebagai sebuah kebanggan, rasa pengikat, atau lainnya. Contoh lain dari sejarah warisan itu adalah sejarah para pahlawan sebelum era modern Indonesia (sebelum tahun 1900). Sedangkan sejarah empirik, adalah sejarah yang memang ditulis sebagaimana adanya, sesuai apa yang ditemukan melalui metodologi atau penelitian sejarah sebagai sebuah ilmu.
Berikut adalah sebuah petikan perdebatan antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane dalam buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan Perpustakaan Perguruan Kementrian PP dan K Djakarta, 1954 (seperti yang dikutip dalam Koran Kompas edisi 20 Mei 200
Sanusi Pane Mengatakan ”Tuan STA menyebut bahwa dalam zaman Madjopohit, Diponegoro, Teungku Umar, belum ada ke-Indonesian. Pikiran ini kurang benarnya pada pendapatan kami. Ke-Indonesian pada waktu itu pun sudah ada, ke-Indonesian dalam adat, dalam seni. Hanya Natie Indonesia belum timbul, orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa.

Dari petikan tersebut, dapatlah kita perhatikan bersama bagaimana sebuah sejarah menjadi satu peristiwa yang dihubung-hubungkan dengan kondisi hari ini. Persis seperti misalnya saat menentukan hari kelahiran sebuah kota. Tasikmalaya misalnya, kota di sebelah tenggara Jawa Barat ini memilih hari kelahiran sebuah pemukiman (kerajaan kecil) di kaki gunung Galunggung pada sebelas abad sebelumnya sebagai tonggak kelahiran Tasikmalaya. Padahal, apabila kita pikirkan bersama, apakah ada kaitannya antara peristiwa tersebut dengan kelahiran daerah administrati tingkat 2 Tasikmalaya. Jawabannya tidak. Tapi sejarah itu sudah menjadi sejarah warisan yang harus dijaga dan dijadikan kebanggaan bersama. Itulah alasannya, bukan semata karena hubungan kausalitas atau kebenarannya.
Lantas, pertanyaannya adalah mengapa kelahiran BO itu menjadi peristiwa yang dipilih menjadi sejarah warisan oleh Indonesia ? Dengan sangat indah pertanyaan itu dijawab oleh Akira Nakuzumi (lihat Kompas 20 Mei 200  dalam bukunya. Bahwa ada dua hal terpenting dari peristiwa tersebut, (1) terbebasnya dari prasangka keagamaan (2) terbebasnya dari kebekuan tradisionalisme.
Apapun itu, kelahiran BO pada dasarnya telah menjadi tonggak awal berkembangnya paham nasionalisme di Hindia Timur yang nantinya akan menjadi Indonesia. Meskipun awalnya BO memiliki pandangan nasionalisme Jawa, namun organisasi modern yang mengikuti pola barat yang lahir pada tahun-tahun berikutnya semakin mengembangkan cakupan nasionalismenya hingga melingkupi seluruh wilayah yang dahulunya pernah dijajah oleh Belanda, atau tepatnya yang termasuk wilayah administrasi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
Memang beragam orang memaknai nasionalisme sebagai sebuah paham atau sebagai sebuah istilah atau kata. Hatta menuliskan bahwa nasionalisme (Indonesia) inilah yang akan membawa kepada Indonesia merdeka. Dan masih menurut Hatta, merdeka itu adalah melepaskan diri dari penjajahan dan mampu memerintah diri sendiri.
Nah, dalam tulisan ini secara aklamasi disepakati bahwa nasionalisme itu (yang dimaknai sebagai sebuah paham, istilah, atau kata yang berbeda oleh banyak pihak) telah membawa kepada Indonesia merdeka. Tapi dalam tulisan ini masih diperdebatkan benarkah Indonesia merdeka mampu memerintah dirinya sendiri ?
Maka itulah, memaknai kebangkitan nasional hari ini, adalah pemaknaan tentang sudahkan Indonesia memerintah dirinya sendiri. Dengan apa dan bagaimana Indonesia memerintah dirinya sendiri. Pemaknaan kebangkitan nasional seperti ini lebih realistis, evaluatif, dan visioner daripada sekedar memaknai dalam tataran emosional sebagai sebuah sejarah warisan yang berharga.
MEMAKNAI KEBANGKITAN NASIONAL
Nasioanalisme berasal dari akar kata nations, yang dalam bahasa latin nasci yang bermakna dilahirkan. Sedangkan secara istilah nasionalisme adalah sebuah fenomena yang kompleks yang terbentuk dari faktor-faktor yang bersifat budaya, politik dan psikologi. Faktor yang bersifat budaya adalah masyarakat yang merasa menjadi satu karena kesamaan bahasa, agama, sejarah dan tradisi walaupun sebuah negara menunjukan adanya perbedaan tingkat budaya yang heterogen. Secara politik adalah sekelompok masyarakat yang termasuk dalam sebuah komunitas politik. Secara psikologi adalah sekelompok masyarakat yang memberikan loyalitas atau cinta kepada rasa patriotism (cinta tanah air). Nasionalism muncul karena setiap nation memiliki jalannya yang berbeda.
Kemunculan nasionalism sebagai identitas (identitas dalam bahasa latin artinya topeng) disusun berdasarkan atas serialitas berjilid dan tak berjilid. Serialitas tak berjilid berasal dari pasar percetakan. Sedangkan serialitas berjilid dari sensus yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu nasionalism dibentuk pula oleh adanya patung, tugu atau replika-replika yang membangkitkan perasaan kemanusiaan. Terakhir nasionalisme itu bisa muncul dengan cara apapun, baik itu karena pendidikan, perlawanan atau apapun itu. Beberapa catatan lain mengatakan identitas bersama tersebut terbentuk karena faktor primordial (ikatan kekrabatan), sakral (agama atau ajaran tertentu), ketokohan nasional, dan sejarah dan disebutkan pula bhineka tunggal ika dalam konteks Indonesia.
Nasionalism merupakan sebuah realitas yang hadir secara tiba-tiba pada abad ke 17 masehi di Inggris sebagai sebuah tantangan terhadap tradisi kekuasaan gereja dan negara dari Revolusi Inggris atas nama kemerdekaan manusia. Setelah sebelumnya selama 20 abad paham nasionalism terkubur. Awalnya, nasionalism adalah ajaran yang diperkenalkan oleh orang yahudi kuno (sekitar abad ke 3 sebelum masehi) dan diterima bulat bulat oleh orang Yunani kuno.
Terdapat tiga corak nasionalisme modern yang berasal dari Yahudi,pertama adanya sebuah keyakinan bahwa mereka adalah bangsa terpilih yang lebih unggul daripada bangsa lainnya (karena ditakdirkan oleh tuhan). Kedua, ada sebuah keyakinan agama (sebuah perjanjian) bahwa mereka memiliki peran khusus untuk mengatur dunia. Ketiga, mereka memiliki harapan tentang mesianisme. Ketiga hal tersebut menjadi tiga pokok yang kembali dihidupkan di Inggris pada abad ke 17.
Dalam Abad kontemporer ini, nasionalisme memang telah mengalami perkembangan makna yang begitu luas. Berbeda dengan asal mula kelahirannya di dalam tradisi Yahudi, juga berbeda pula dalam perkembangannya di dalam sejarah Eropa. Misalkan Hasan Albana mengartikan Nasionalism sebagai sebuah nasionalism kerinduan (kerinduan dan keberpihakan terhadap tanah airnya), nasionalisme kehormatan dan kebebasan (keharusan berjuang membebaskan tanah air dari imperialisme), nasionalisme kemasyarakatan (memperkuat ikatan kekeluargaan antar masyarakat), dan nasionalism pembebasan (membebaskan negeri-negeri lain).
Begitu pula Hatta, dia memilih dan mendukung ide nasionalisme ( ketika dia menjadi mahasiswa di Belanda dan menjadi pengurus di Perhimpunan Indonesia) menyatakannya sebagai sesuatu yang itu bukan Islam atau Komunis. Maka dalam tulisan ini tidak akan kembali memperdebatkan tentang mana makna nasionalism yang paling shahih untuk Indonesia saat ini. Tapi dalam tulisan ini jawaban terhadap pertanyaan mengapa BO yang dipilih menjadi sejarah warisan tentang kebangkitan nasional Indonesia? Menjadi inti dari pemaknaan terhadap kebangkitan nasional, yaitu pemaknaan tentang kemampuan untuk memerintah diri sendiri.
Sebelum lebih lanjut, perlulah menggelitik pikiran untuk kritis “apa yang menjadi parameter bahwa Indonesia sudah mampu memerintah dirinya sendiri?” Apabila SBY dalam pidato kenegarannya tentang Hari Kebangkitan Nasional hari ini berkata bahwa perjalanan bangsa ini telah berada pada arah yang benar. Maka dia merujuk pada tiga kriteria yang dia jelaskan berikutnya. Yakni menyangkut kemandirian, daya saing, dan peradaban bangsa. Artinya SBY yakin bahwa Indonesia telah mampu memerintah dirinya sendiri dan mengurusi urusannya sendiri.
Tapi, tidak berarti semua pernyataan Presiden itu benar, atau minimalnya tepat. Coba perhatikan bagaimana bangsa Indonesia menuliskan sejarahnya. Setelah Indonesia merdeka , Indonesia dihadapkan pada perjanjian linggar jati dan diakhiri dengan perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang cukup mengenaskan. KMB telah menyepakati bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan pada bangsa Indonesia (artinya Indonesia tidak merebutnya ?) dan hutang Belanda ditanggung Indonesia. Saat itu, meskipun panglima Sudirman menyatakan ketidaksetujuannya dengan berbagai perjanjian tersebut dengan kepercayaan diri bahwa bangsa Indonesia mampu memenangkan peperangan revolusi. Tapi, para elit sipil memutuskan untuk melakukan perundingan. Dari awal sejarah inilah layak untuk direnungkan, dimana letak kemampuan Indonesia untuk memerintah dirinya sendiri ?
Mungkin peristiwa revolusi tersebut tidak gampang dipahami dalam konteks memahami kemampuan Indonesia memerintah dirinya sendiri. Tapi lihatlah, antara tahun 1950 sampai tahun 1959, Indonesia berada pada masa yang genting yang menentukan apakah Indonesia mampu memerintah dirinya sendiri atau tidak. Tahun-tahun itu, pemerintahan Indonesia mengalami kekacauan yang sangat karena politik liberal yang dipakainya. Wajar, politik seperti itu adalah politik yang dimiliki oleh para penjajah dan bukan oleh selainnya.
Sama halnya ketika orde lama, ditandai dengan dekrit presiden, orde lama memerintah dengan doktrin soekarno seperti Nasakom dan Usdek. Tidak jauh berbeda terjadi juga pada masa orde baru. Malah, untuk memerintah dirinya, Indonesia mendatangkan Rostow dan segala pemikiran modernisme lainnya. Seolah Indonesia tidak mempunyai sesuatu pun untuk memerintah dirinya sendiri. Mungkin ada, yakni saat itu Soeharto membuat buku yang berisi nasihatnya pada anak-anaknya yang berisi ajaran Jawa tentang kehidupan. Ada juga yang lainnya, yakni penatara P4 yang berisi ajaran Jawa tentang harmonis.
Hari ini, sama saja dengan hari-hari sebelumnya. IMF dan World Bank menjadi penguasa di balik layar yang memerintah Indonesia dengan pinjaman. Dalam renungan semacam inilah kebangkitan nasional dimaknai. Ada satu PR besar bangsa ini yang harus dilakukan untuk menyempurnakan dirinya. Yakni mampu memerintah dirinya sendiri dalam arti yang sesungguhnya.
Mungkin, sebagian akan berkata bahwa Indonesia sudah mampu untuk memerintah dirinya sendiri. Tapi pertanyaannya, mengapa setelah 63 tahun Indonesia merdeka angka kemiskinan, sumber daya manusia, serta kelestarian alam tidak menjadi lebih baik ? padahal apa lagi yang kurang dari karunia yang Allah berikan di Indonesia ini.
Bisa jadi, itu semua terjadi karena Indonesia salah memilih sejarah warisan untuk hari kebangkitan nasionalnya. Hari ini masih layak untuk bertanya dan berandai-andai. Andaikan PKI waktu itu berhasil menguasai Indonesia, apakah hari kebangkitan nasional itu akan jatuh pada hari kelahiran PKI di Indonesia pada tahun 1914? Dan apakah bila itu terjadi Indonesi menjadi lebih baik ?
Atau bila Masyumi dan NU saat itu berhasil memimpin Indonesia melalui sidang Dewan Konstituante, apakah hari kebangkitan nasional itu akan jatuh pada hari kelahiran SDI pada tahun 1905 ? Dan apakah bila itu terjadi Indonesia akan menjadi lebih baik dibandingkan hari ini ?
Mungkin, Indonesia hari ini memilih hari kelahiran BO sebagai hari kebangkitan nasional karena dua presiden (Soekarno dan Soeharto) yang memerintah selama lebih 50 tahun adalah orang jawa. Andai Hatta yang orang Sebrang (Sumatra) menjadi Presiden Indonesia, masihkah hari kebangkitan nasional itu tanggal 20 Mei ?
Oleh Kikam Zam

0 komentar:

Posting Komentar