Minggu, 28 Desember 2008

Sasando rote

Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas ke bawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat



Sasando. Tidak salah lagi, Pulau Rote-lah yang memiliki alat  musik petik yang ruang resonansinya terbuat dari haik, bentuk setengah lingkaran yang dibuat dari daun lontar. Tim Lintas Timur-Barat seharian menyisir pulau mencari pembuat dan pemain sasando. Hasilnya tidak begitu menggembirakan. Pemain dan pembuat sasando ternyata mulai langka. Menyusuri Nusa Tenggara Timur serasa belum lengkap jika tidak
menyambangi Pulau Rote Kabupaten Rote Ndao. Rote layak dikunjungi
bukan semata karena pulau terluar Indonesia paling selatan, namun
juga karena budayanya yang unik. Di pulau ini sasando adalah puncak
pencapaian seni musik yang ditemukan sejak abad ke-15.
Hanokh Panie, warga Rote yang menjadi pemandu sukarela tanpa mau
dibayar membawa tim kepada Yusuf Nggebu, pemain dan pembuat sasando
ternama di pulau itu. Hampir semua orang Rote mengenal Yusuf Nggebu
(82). Namun, kini pemilik nama besar itu tidak lagi aktif bermain
karena usianya yang sudah lanjut.

Ketika dikunjungi, Nggebu masih bersemangat membahas nasib sasando yang saat ini hampir kolaps. Di mata Nggebu, sasando bukan
sekadar alat musik tradisional, namun lebih dari itu, sasando telah
menjadi identitas Rote. Nggebu menceritakan hikayat asal-usul sasando yang penuh
dengan "warna". Sasando berasal dari kata sari (petik) dan sando
(bergetar) yang diyakini diciptakan Sanggu Ana pada abad ke-15 di
pulau kecil dekat Pulau Rote, yaitu Pulau Dana, yang waktu itu
dikuasai Raja Taka La'a. Sanggu adalah warga Nusa Ti'i di Pulau Rote
Barat Daya. Dia ditahan Raja Dana saat terdampar di pulau itu ketika
mencari ikan bersama kawannya, Mankoa. Selain seorang nelayan, Sanggu
juga seorang seniman.
Saat itu Raja Dana memiliki putri. "Tidak disebutkan siapa nama
putri ini," kata Nggebu.
Putri jatuh cinta kepada Sanggu. Kepada Sanggu, putri
menyampaikan permintaannya untuk memiliki alat musik baru yang
diciptakan Sanggu dan bisa menghibur rakyat. Putri memang suka
membuat hiburan rakyat saat purnama tiba.
Sanggu kemudian menciptakan sari sando yang artinya bergetar saat
dipetik. Saat itu dengan tujuh tali yang terbuat dari serat kulit
kayu atau akar-akaran. Hubungan putri dengan Sanggu itu ketahuan Raja
Dana. Sang Raja Taka La'a marah besardan menghukum mati Sanggu.
Kawan Sanggu yang sempat melarikan diri, Mankoa, melaporkan
kejadian itu ke Nusa Ti'i. Anak Sanggu di Ti'i, Nale Sanggu, marah
mendengar ayahnya tewas. Nale balas dendam bersama 25 kesatria Ti'i.
Seisi Pulau Dana dimusnahkan, hanya anak-anak dan alat musik sasando
warisan ayahnya yang diselamatkan ke Ti'i.
Di Ti'i sasando dimodifikasi, talinya menjadi
sembilan. "Musiknya sudah bisa lima not terdiri dari mi, sol, la,
do, re. Si dan fa tidak ada," jelas Nggebu.
Pada zaman Belanda, abad ke-18, jumlah tali ditambah menjadi 10
tali. Sesudah merdeka kembali mengalami perubahan dengan menambahkan
tali menjadi 11 tali. Pada abad ke-19, sasando sasando haik itu
dimodifikasi menjadi sasando biola oleh putra Ti'i bernama Kornelis
Frans. Disebut sasando biola karena saat membuat nadanya disesuaikan
nada biola.
Jumlah tali menjadi 39 buah dan nada pokok menjadi tujuh not.
Kepada Tim Lintas Timur-Barat, Nggebu menunjukkan sasando biola
miliknya yang sudah dimodifikasi. Ruang resonansinya tak lagi
menggunakan haik, namun diganti kotak kayu dan dihubungkan amplifier
agar suaranya nyaring.

Menjelang punah
Nasib sasando biola semakin mengkhawatirkan karena lebih sulit
memainkannya. Hanya Nggebu yang bisa memainkan baik sasando haik
maupun sasando biola secara sempurna. Lebih sulit jika mencari
pembuat sasando biola, kini tidakada lagi yang bisa membuat sasando
biola. "Pak Nggebu ini yang bisa membuat baik sasando haik maupun
sasando biola dengan baik," kata Hanokh Panie, guru SMP 3 Rote
Tengah yang pernah mengajar pembuatan sasando.
Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Rote Ndao, Musa Balokh, mengatakan, saat ini sebenarnya masih ada
beberapa pengrajin sasando haik. Situasi kritis yang menimpa nasib
sasando biola ini juga dituturkan Maria (56), istri kedua Nggebu.
Kata Maria, tidak ada yang bisa mewarisi pembuatan maupun memainkan
sasando biola.
Dari 10 anak Nggebu hasil perkawinan istri pertama mendiang
Mariana Henu, hanya tiga orang yang mewarisi sebagian kemampuan
ayahnya. Paulus Nggebu, anak keempat, bisa memainkan sasando haik,
namun kemampuannya tak terasah lagi karena tinggal di Jakarta.
Yandri Nggebu, anak kesepuluh, juga bisa memainkan sasando haik,
namun lagi-lagi tidak maksimal karena berada di Jakarta. Hal yang
sedikit menggembirakan, salah satu anak perempuan nomor dua, yaitu
Yakoba yang masih tinggal di Rote, bisa memainkan baik sasando haik
maupun sasando biola. Nggebu berharap pemerintah mengambil alih usaha
pelestarian kesenian sasando. Selama ini pemerintah dinilai tidak
aktif mengembangkan sasando. "Pemerintah bisa mempertahankannya
dengan memasukkannya sebagai mata pelajaran sekolah," usul Nggebu.
Sebenarnya regenerasi pemain maupun pembuat sasando pernah
dilakukan, namun tidak membuahkan hasil. Hanokh Panie pernah diundang
pemerintah mengajar pelatihan pembuatan sasando. Namun, tidak ada
satu pun yang benar-benar menjadi perajin. Padahal, biaya pelatihan
cukup besar. (Kompas/Amir Sadikin)

0 komentar:

Posting Komentar